Jumat, 26 Oktober 2012


Rindu kepada Filip
Sebuah Cerpen
Oleh Iswan Sual

Sepulang sekolah Filip langsung tidur-tiduran di kamarnya. Melepas kepenatan oleh degungan sisa-sisa gaduh murid-muridnya yang susah diatur di sekolah. Filip adalah seorang guru honor yang telah tiga tahun mengabdi di kampungnya. Sewaktu menawarkan diri untuk mengajar di sebuah SD dan SMP di kampungya, dia urung membicarakan soal gaji. Yang ada di benaknya adalah bagaimana agar bisa mengajar anak-anak kampung. Seolah dia punya nasar bahwa tiga tahun dia akan mengajar di bekas sekolahnya itu. Katanya, dia ingin bertemu guru-guru yang pernah mengajarinya, terlebih bertemu dengan guru yang sudah meninggal tiga tahun lalu−Herdi Bella. Guru Bahasa Inggris dan Pendidikan pancasilanya. Aneh, sudah meninggal tapi ingin ditemui. Lebih aneh lagi kenapa ke sekolah bukan kuburnya? Aku sendiri tak mengerti dengan jalan pikiran kakakku itu. Dia suka mengajar tapi tak ingin menjadi guru PNS. “Kalu torang so jadi PNS, so nyanda tulus torang mengajar. Yang torang pikir korang gaji. So nyanda bisa kreatif. Karena kreatifitas tak diperlukan dalam lembaga yang talalu strukturalis. Jabatan adalah segalanya. Profesionalitas cuma slogan.  Kepatuhan, yes bos, itu yang lembaga itu perlu. Kalu ngana PNS itu harga mati. Beda to kalu ngana cama guru honor?Kata Filip sewaktu aku coba-coba mengorek masalah itu di suatu sore.
Tapi yang kulihat dia sangat menikmati pekerjaannya. Dengan gaji yang jauh di bawah Upah Minimum Propinsi tak menghalanginya untuk berbagi. Tidak jarang aku diberi uang. Bahkan murid-muridnya, yang tak punya alat tulis menulis atau kamus, dibelikannya. Orang lain tunggu kaya dulu baru memberi. Dia justru dengan gaji empat ratus ribu sering memberi. Presiden sudah  gaji besar ditambah tunjangan tak terbilang pula, masih saja melobi ke DPR agar minta dinaikan gajinya.
Aku bangga punya kakak seperti Filip. Orang yang terus memberi meski dari kekurangannya. Andai saja petinggi di negeri ini seperti dia, barangkali sudah hampir setengah abad tak yang miskin di Indonesia.
“Nawsi, mulai sekarang, ngana yang jemput papa di kobong kalu so pulang skola,” kata Filip di kala aku baru bangun dari tidur di suatu pagi.
Dahiku penuh kernyitan ketika mendengar kalimat pendek nan padat itu. Dia pun terus menerus memandangi aku yang berbalut seragam putih abu-abu. Tatapan bangga dan penuh harap. Padahal di sekolah begitu urak-urakan dan belum sedikitpun apa masa depan yang selalu Filip bilang.
“Apa penghalangnya hingga dia takkan lagi menjemput ayah setiap sore di kebun?  Apakah dia sedang sakit? “ tanyaku dalam hati dengan penasaran.
Ah entahlah. Enggan aku bertanya. Tak ingin aku mendengar kalimat-kalimat lain yang sarat makna dan nasihat keluar dari mulutnya. Bukan karena aku meremehkan semua itu. Otakku saja yang tak bisa mencerna. Rasanya sudah cukup semua petuah yang diucapnya. Yang perlu dilakukanku sekarang adalah menunaikannya.
Tambah lagi, kedalaman berpikir kakakku terlampau di luar jangkauanku. Mungkin buku-buku yang terpajang di lemari telah merubah dia menjadi orang yang berkepribadian lain. Seorang yang terlampau intelek di udik yang terisolasi ini. Bak Swami Vivekananda atau Rabindranath Tagore di India.
Dulu sewaktu masih kecil-kecil di antara kami tiada batas. Kami bermain bersama. Lama sudah itu segalanya berubah. Dia tak lagi suka bermain. Lebih tertarik bercokol kitab-kitab tebal. Tinggal senyum ramah dan kata-kata penyemangat yang belum pergi dari dirinya. Dia tetap hanyat dan bersahabat. Hanya…
“Besok, kita berangkat ke Makassar. Pra-tugas sebagai Fasilitator Program Pemberdayaan Masyarakat,” penjelasannya menambah kebingunganku. Deretan kata-kata di kalimat terakhir terasa asing. Hanya dia yang paham. Mulutku yang terbuka ditemani mata melotot berpura-pura menunjukkan pengertian dan pemahaman. Tidak tahunya aku seperti seorang wisatawan asing yang buta trein sama sekali. Mudah dibodohi oleh orang-orang setempat yang suka iseng.
***
Sekarang Filip telah berada jauh dari kami. Karena pekerjaan dia dan kami terpisah oleh samudera yang luas.Setelah kepergiannya pada hari minggu, kini aku sadar. Tanggungjawabnya telah beralih padaku. Kemangkirannya menjadikan aku anak tertua di keluarga ini. Kini aku insyaf seperti apa menjadi seorang kakak dalam keluarga. Beban dan tanggungjawab dipikulnya sendiri.  Aku juga sadar selama ini aku menjadi beban baginya. Tapi tak dikeluhkannya. Filip kakakku, aku merindukanmu. Meski di sana, ingatlah aku selalu bangga padamu. Kaulah suri teladanku.

Marore, 10 Oktober 2012
Pukul  19.57

Jumat, 27 April 2012

Cerpen Iswan Sual


BALAS DENDAM
Oleh Iswan Sual

Dengan keseriusan yang mendalam, ditemani secangkir teh dan kue cucur, aku membaca berita-berita dari sebuah harian lokal. Harian yang kentara dengan dua hal saja: kriminal dan seks. Gambar orang yang mengenaskan dan memanaskan mendominasi lembar demi lembarnya. Menurutku berita-berita yang disuguhkan di situ bukanlah berita. Prosentase terbesarnya adalah kejadian yang dilebih-lebihkan. Antara fiksi dan nonfiksi perbandingannya adalah 80 % dan 20%. Walaupun tahu kebohongan itu, terus saja aku membaca. Siapa tahu, tulisan-tulisan itu dapat dijadikan inspirasi untuk karya-karyaku nanti. 
Di petang itu, matahari seakan menunda tenggelamnya karena ikut terlena bersamaku. Tiba-tiba telepon genggamku berderit-derit. Begitu kutekan tombol tanda terimanya, terdengar suara lembut seorang gadis di ujung telepon. Tak pernah terpikirkan olehku si penelepon itu akan melakukan itu setelah apa yang pernah aku lakukakan padanya.
“Halo kak!”
“Halo, sapa ini?” kataku dengan  kernyitan pada dahi.
“Eh, pe sombong! Masa so lupa.”
Ku coba menerka-nerka dalam kepala. Memang suara itu tidak asing di pendengaranku. Hanya saja akhir-akhir ini tak lagi pernah ku dengar. Suaranya yang mendayu-dayu mengorek masa laluku, empat atau lima tahun yang lalu. “Ah pasti dia! Takkan keliru. Itu pasti Hartina,” aku memastikan.
“Eh tumben telepon. Tau dari mana kita pe nomor?”
“Memangnya so tau sapa kita?”
“Haaartina to? Dari mana ngana tau  kita pe nomor?”
“Ih kakak, kalu nda suka orang tahu tu nomor, jang taru di feisbuk dang,” katanya sinis. Aku jadi malu sendiri.
“Oh io kang. Kyapa ngana telpon pa kita?”
Kyapa ngana telpon. Kutanyakan sekali lagi pertanyaan itu. Aku heran dia mau mencari kabarku. Padahal aku sama sekali tak peduli padanya. Perasaanku campur aduk. Kami terus saja ngobrol. Tak sedikitpun disinggungnya soal masa lalu kami yang sangat menyakitkan bagi dia. Anehnya, dia malah melarangku membicarakan itu. Sebenarya aku mencoba mengingatkannya supaya aku mendapat kesempatan untuk memohon maaf. Dia malah menimpali, “Tak ada yang perlu dimaafkan, kak. Yang sudah terjadi, terjadilah. Lagipula, kita tidak dapat merubah sesuatu menjadi lebih baik dengan terusan saja menyesalinya.” Begitu menusuk kata-kata itu. Aku jengah. Malu. Malu pada seorang yang terus memanggilku kakak. Begitu hormatnya dia padaku meskipun aku telah merenggut kesucianya dan meninggalkannya.
“Kak, torang baku dapa kwa,” katanya bak sengatan kelabang yang tiba-tiba.
“For apa? Ngana mo lebe kecewa mo lia kita pe keadaan sekarang. Kita so nda gaga. Kita bukang lagi orang yang pantas ngana mo beking idola.”
“Hahaha…kakak…kakak. Masih saja seperti dulu. Walaupun kakak dulu playboy, tapi tetap saja rendah hati. Kak, kita serius. Torang baku dapa ne?”
“Ngana dimana?”
“Kita di Jakarta. Mar besok kita pulang. Plis…ada yang penting torang dua mo bacirita…hehehe. Besok…bole to? Plis…plis…”
Keramahannya tidak membuatku senang. Malah semakin membuatku merasa bersalah dan penasaran. Terbesit dalam benak akan ada pembalasan dalam pertemuan yang dia rencanakan itu.
“Nanti bacirita ulang jo. Kita nda bisa pastikan kalu torang bisa bakudapa.”
“Kak, tenang jo kwa. Kita nda mo bajahat. Tolong ne, datang.”
Telepon ditutup. Pertanyaan demi pertanyaan muncul bergantian. Kebanyakkan tak bisa kujawab. Ada apakah gerangan? Kenapa dengan tiba-tiba dia menghubungiku untuk bertemu? Aneh bin ajaib. Dulu, setelah madunya aku hisap semua, dia kutinggalkan begitu saja. Tak sedikitpun kuanggap dia berharga dalam hidupku waktu itu. Kini, dia datang dengan senyuman manis. Sungguh tak masuk di akal. Pembalasan lebih kejam daripada perbuatan. Biasanya itu yang berlaku. Tapi, kenapa ini rupanya berbeda? Tapi apa boleh buat, aku harus menemuinya. Aku harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanku. Inilah kesempatanku untuk memperbaiki semua kerusakan yang telah aku lakukan padanya. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
***
Bayangan tentang rupa dia, ternyata tak salah sedikitpun. Dia sudah berubah. Penampilannya sangat jauh berbeda denganku. Dia terlihat sejahtera. Pakaiannya dibuatnya sederhana, namun tetap saja bergelimang mewah dari kaki hingga kepala. Sedangkan aku, apa yang terbaik dari lemari pakaian, itu yang kukenakan. Tapi, tetap saja kelihatan seperti seorang gembel. Antara aku dan dia serupa bumi dan langit perbandingannya.
“Ayo,” katanya lembut sambil menyentuh pundakku. Kami masuk semua cafĂ© remang-remang. Solaria dulu tempat aku dan teman-teman mengadakan pertemuan. Disini kami banyak berdiskusi mengenai teori-teori yang tak berguna sama sekali ketika kami terjun ke dunia nyata. Di sini juga kami menyusun rencana awal untuk demonstrasi sebagai bentuk pendampingan kepada masyarakat kota Manado yang menjadi korban penggusuran brutal oleh Polisi Pamong Praja. Banyak masyarakat yang dibohongi dan bahkan dipentungi karena tetap bertahan. Mereka bertahan untuk mengais nafkah hidup. Pemerintah malah lebih mengutamakan pengusaha besar yang berduit banyak daripada pengusaha kelas ikang puti yang cari sehari makan sehari.
“Torang mo bicara apa, Hartina?” kataku mendesak.
“Pesan dulu kwa. Pesan jo apa yang kak suka. Makanan, minuman apa jo. Kita traktir hehehe,” celotehnya enteng.
Aku diam dalam kebingungan. Kupikir keramahannya hanya akan berlaku sewaktu di telepon. Sangkaanku keliru. Hingga di tempat ini pun dia terus bersikap ramah dan superbaik padaku. Aku jadi seperti orang dungu di depannya. Barangkali ini adalah kutukan dari Tuhan atasku karena aku banyak bualannya ketika masih sama-sama dengan dia dulu.
“Aku pesan ini saja,” kataku sambil mengeserkan buku menu ke arah Hartina.
“Hi, kyapa cuma capoccino? Emang, kak nda lapar. Jao-jao kamari dari kampung cuma mo minum. Kakak musti makan, kita tulis jo tre. Kakak ini bagimana,” cepat-cepat dia menulis beberapa item nama makanan dan minuman atas namaku.
“Hartina…!”
Langkah kaki Hartina tak sanggup kucegah. Dia telah pergi ke meja kasir untuk mengonfirmasi pesanannya. Dia kembali dengan wajah berseri. Seperti saat kami bertemu di lobi tadi. Dia berusaha menghiburku dengan kata-katanya. Semakin dia melakukan itu, aku kian merasa akan ada hal luar biasa mengagetkan yang akan aku dengar dan lihat sebentar lagi. Kupikir, dia sedang menunda semua sumpah serapah dan segala tetekbengek yang sesungguhya yang harus dia lakukan. “Aku siap. Lakukan saja Hartina. Aku siap menanggung semuanya. Seberat dan seburuk apapun,” gumamku.
“Kak, ayo makan. Tenang, semua ini kita yang bayar. Kakak nda usah repot. Habiskan…hahaha.”
Guyonannya kubalas dengan senyum tipis. Tapi dia kelihatan tenang-tenang saja. Dia bebas dari beban. Santai. Dia pun makan dengan lahap. Padahal, dia tidak sebegitu pelahap sewaktu kami masih sama-sama dulu. Separuh dari nasi di piringnya, selalu saja dia berikan padaku. Dia malah beberapa kali tak makan dengan alasan diet. Itu hal aneh yang pernah kutemui. Sudah ramping dan langsing tapi mengekang mulut untuk makan. Dulu, itu aku tak pedulikan. Tak menjadi persoalan penting bagiku.
Sekarang Hartina memiliki hidup yang disiplin. Badannya yang terurus dan pakaiannya yang rapih menunjukkan bukti-bukti itu. Maklumlah, dia bekerja di perusahaan penerbangan terbaik Indonesia. Sedangkan aku hanyalah seorang pemanjat kelapa yang sewaktu-waktu jatuh dari udara tanpa jaminan asuransi perusahaan. Padahal, orang-orang seperti kamilah yang menyongkong bahan pangan orang-orang kota.
Namun, aku sedikit bahagia. Dia tentu tak akan pernah mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari bila aku serius mencintainya lalu kammi sampai ke jenjang pernikahan. Pasti dia akan turut dalam kemelaratan bersamaku.
“Kak, kita jalan yuk,” kata Hartina sambil mengambil tasnya yang berwarna pink bercampur putih susu.
Ponselnya yang berukuran besar juga punya warna serupa dengan tas. Kini dia berdiri tepat di sampingku sambil menyentuh pundak sekali lagi. Tubuhnya kian berbentuk. Lebih elok daripada tubuh yang pernah aku peluk dulu. Kusadari dia memiliki lebih banyak keunggulan fisik dari Happy Salma. Keinginan berahiku mencuat namun terlampau kuat kukekang. “Jangan pernah berharap lagi gembel!” kataku dalam diam.
“Mo kamana torang?”
“Ke tempat dimana kakak akan dijagal. Di situlah aku akan membalaskan dendamku…hahaha… Aku bercanda. Ikut saja kak. Kita akan mencari tempat yang lebih aman untuk bicara. Kakak tidak keberatan kan?”
***
Aku tak pernah menyangka kalau kini Hartina telah benar-benar berubah dalam banyak hal. Bukan hanya dalam penampilan fisik dan kelakuan. Tak pernah terpikir kalau aku baru saja naik dan turun dari mobil sedan berwarna putih miliknya. Aku juga tak pernah membayangkan kalau dia akan membawaku ke rumahnya yang mewah di perumahan Real Estate Citra Land. Tak pernah lewat dalam benakku dia akan membiarkan seorang gembel nun jahat sepertiku mencicipi kemewahan yang dia peroleh dengan keringatnya sendiri. Apakah ini adalah bentuk balas dendam yang dia maksudkan? Apakah ini semua menjelaskan padaku bahwa seorang korban seperti dia telah diangkat oleh Tuhan dan telah diberikan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang telah merusak kehidupannya di masa silam? Kalau itu tujuannya, aku sudah menderita jauh sebelum dia menelponku kemarin. Bahkan hari itu saja, hari dimana aku mencampakkanya, siksa dari balasan itu sudah kurasakan. Tapi rupanya ini adalah puncak dari semua itu. Aku siap Tuhan. Balaskan dendamnya setimpal dengan semua kebejatanku.
“Kak, apa kakak sudah memiliki seorang istri?”
“Kenapa kamu bertanya seperti itu Hartina? Terus terang, setelah apa yang pernah aku lakukan padamu, aku tak lagi punya keberanian untuk berangan memiliki seorang istri. Aku rasa, aku tak pantas dianugerahi seorang wanita. Dosaku terlalu banyak pada perempuan.”
Hartina meraih tanganku. Air mata mengalir deras dari matanya. Semakin erat dia meremas tanganku. Dia tertunduk sesenggukan. Aku tak mengerti. Sangat runyam untuk kupahami.
“Kak, kita nda perna baharap cinta lagi dari kakak. Samua yang perna kak kase so cukup mo se sadar pa kita kalu kita ini cantik. Samua yang perna kakak kase, walaupun itu stenga pura-pura, so cukup beking kita rasa apa depe arti menjadi seorang gadis yang dicintai. Kita blajar, kalu kita lei sayang pa kakak, berarti kita musti kase kebebasan pa kakak for mo dapa apa yang kakak rasa bagus. Kita memang manangis, waktu kakak kase tinggal dulu. Mar kita nda perna binci pa kak. Kita kase biar kakak pigi mo cari kakak pe cinta sejati supaya kakak bahagia. Tantu, kita senang kalu kakak bahagia. Kebahagiaan kakak adalah kita pe kebahagiaan juga.”
            Aku menunduk malu. Tak pantas aku mendongak dan menghapus air matanya yang terlalu suci untuk kujamah. Dia sempurna. Dia adalah malaikat. Bagaimana bisa aku tak mengenalnya sedari awal? Aku telah menyia-nyiakan sebuah cinta sejati.
***
Setahun kemudian aku menikah dengan seorang gadis di kampungku. Dia tidak memiliki pendidikan tinggi namun ada padanya kepribadian yang serupa dengan Hartina. Namanya Hermita. Gadis yang berkulit agak gelap. Tubuhnya semampai. Cantiknya tiada bandingan. Kusuma desa. Ya, bunga desa.
Pertemuan aku dan Hermita pun mirip pertemuanku dengan Hartina. Sekarang aku dan Hermita tinggal di perumahan Citra Land. Semua harta dan kepunyaan Hartina dia wariskan padaku pada saat kami bertemu tahun lalu. Dia memberikan semua surat-surat tanah, rumah, serta kendaraan yang tertulis atas namaku. Juga dua café yang terletak di kawasan Mega Mas. Rupanya dia bekerja bertahun-tahun demi aku yang telah menyia-nyiakannya. Sulit untuk memahami pikiran dan perasaannya padaku. Namun yang pasti, dia mencintaiku dengan segenap jiwa dan raga.
Setiap minggu aku mengunjungi kuburannya. Dia meninggal dalam kecelakaan pesawat di atas wilayah Makassar sehari sesudah pertemuan kami. Dia telah tahu dengan pasti kapan malaikat maut akan menjemputnya. Air mataku tak terbendung setiap kali aku meziarahi makamnya. Pada batu nisannya tertulis:


Regular Pentagon: Pusara Dari
Hartina Mertosono binti Sukiman
Umur: 25 tahun
“Kebahagiaanku adalah ketika melihat kekasihku mendapatkan cinta sejatinya. Sekalipun, bukan aku wanita yang beruntung itu.”
 


Cerpen Iswan Sual


 
Sang Tumbal


I
NAMAKU RATU






A
ku diberi nama Ratu.
Tak tahu pasti alasan orang tua berkenaan dengan keputusan penamaan diriku. Aku belum sempat menanyakannya.
Mungkin orang tuaku berharap suatu saat nanti aku menjadi seorang ratu yang bertemu dengan seorang pangeran yang ganteng seperti dalam kisah Cinderella.
Umurku kini 9 tahun. Aku sedang duduk di bangku kelas 3 SD.
Walaupun badanku kerempeng tapi aku tergolong siswa yang cerdas di sekolah. Di samping itu wajahku juga jelita.
Aku sangat beruntung dengan anugerah Tuhan yang indah itu.
Kecerdasan dan kejelitaanku terwarisi secara genetik dari kedua orang tuaku. Papa dan mama, kedua-duanya berkulit terang.
Papa mewarisi darah Tionghoa dari kakek.
Mamaku juga cantik. Dia mewarisi darah portugis dari ayahnya. Ibuku  selalu juara kelas sewaktu masih di SD sampai SMK. Tak heran kalau aku juga memiliki kelebihan-kelebihan luar biasa seperti dia.
Aku sangat dimanjakan oleh orang tuaku sedari lahir. Produk apa saja untuk menopang pertumbuhanku, segalanya dibeli. Semua yang aku butuhkan senantiasa dipenuhi. Tak pelak kemasan-kemasan produk supermarket masih membanjiri pilatu rumah kami. Sengaja tidak dibuang sebab, papa dan mama pikir, aku suka dengan kemasan-kemasan itu.
Memang aku suka.
Saat aku berumur 2 tahun aku sudah cerewet dan pintar menghafal lagu-lagu yang diajar mama dan nenek. Mereka terkagum-kagum dengan kelincahan dan kelucuanku. Aku sering dibelikan bermacam snack sebagai hadiah. Tingkahku, menurut mereka, begitu menghibur.
Setiap pulang kerja, papa selalu memelukku dengan bonus-bonus kecupan manis di pipi dan dahiku. Sulit menggambarkan kesenangan yang disuguhkan papa itu.
Papa adalah seorang tukang. Dia adalah pekerja terampil. Berbondong-bondong orang datang ke rumah meminta papa untuk membangun rumah, pagar, gedung perkantoran, dan lain sebagainya. Papaku, sering kelabakan dengan berbagai tawaran yang begitu banyak.
Dalam hal pertukangan, papaku serba bisa. Dia mampu mengerjakan keterampilan perkayuan juga pengecoran. Keahlian papa tersebar di seluruh kampung. Bahkan sampai kekampung tetangga. Padahal dia hanyalah warga pendatang di kampung kami.
Setelah menikah mereka bersepakat menjadikan desa Tondei sebagai tempat kediaman dan ladang pencaharian keluarga. Sehari papa bisa membawa pulang sebanyak Rp. 200.000.
Darah Tionghoa yang mengalir dalam tubuh papa adalah berkah. Aku bangga dengan papaku. Dia mewariskanku mata sipit dan rambut tebal nan lurus. Untung aku perempuan, jika saja aku lelaki, sudah tentu aku setegak, setinggi dan seganteng papaku.
Keluarga kami masih seumur jagung namun berkat keuletan papa, kami boleh tinggal dalam rumah besar dengan kamar-kamar yang semuanya berjumlah 3 buah. Rumah kami telah penuh sesak dengan perabotan mewah dan barang elektroknik.
Mama adalah wanita penyayang suami dan anak. Dia melakukan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan baik. Sarapan pagi bagi papa dan aku selalu tersedia sebelum papa berangkat kerja dan aku berangkat sekolah.
Pokoknya, di tangan mama, semua dijamin terurus dengan baik.
Pendidikanku sangat penting bagi papa dan mama.
Mereka memberikan teladan bagaimana bersikap dan bertingkahlaku. Ketika menghadiri acara-acara, kami bertiga selalu kompak. Setelan pakaian batik yang bercorak sama kami kenakan saat terundang dalam setiap acara pernikahan, ulang tahun dan lain yang semacam.
Setiap hari minggu aku selalu diantar secara bergilir oleh papa dan mama ke gereja.
Mereka amat memperhatikan pendidikanku di usia dini. Terutama pendidikan karakter.
Belum lagi masuk TK, aku sudah bisa membaca dan hitung-menghitung. Mama, dengan semangat, mendaftarkan aku ke lembaga kursus ternama. Aku dijejali pelajaran bahasa Inggris dan sempoa. Pelajaran-pelajaran aku lahap dengan rakus. Sampai-sampai, orang kampung menjuluki aku bayi ajaib bahkan bayi jenius. Istilah yang tak begitu aku suka. Aku tak ingin kata bayi ditambah di depan kata genius. Aku bukan bayi lagi. Tapi tak apalah, walaupun begitu, rasa percaya diriku meningkat. Tak jarang mama dan papa sering memintaku memamerkan kebolehanku di hadapan saudara-saudara dan tamu-tamu yang datang berkunjung ke rumah.
Mama sangat yakin aku anak dengan segudang talenta dan potensi. Diapun dengan rajin memberiku pelajaran tambahan di rumah. Keinginan kuatnya begitu besar untuk menjadikanku seorang anak yang mahatahu.
Aku menurut saja pada mama. Aku belum memahami apa yang ideal atau yang tidak bagiku. Semua itu kulakukan dengan senang sebagai imbalan terhadap kasih sayang mereka yang tak henti-hentinya, walaupun kadang sedikit berlebihan.
Aku membuat anak-anak lain irih.
Keakraban dan keintiman dalam keluarga menjadi bahan pembicaraan di kampung. Seakan-akan kami sedang dijajaki untuk dianugerahi gelar The Family of the Year oleh sebuah majalah Amerika serikat. Wah…hidup kami terasa sempurna.

***























2
BADAI MULAI DATANG





N
amun segalanya berubah ketika papa dan mama bersepakat menggadaikan beberapa bidang tanah yang luas ke pada bank. Padahal, itu adalah budel pemberian kakek di Motoling. Tak pernah, kami duga keputusan yang mereka ambil sungguh berakibat fatal.
Tak tahu mengapa, dewi Fortuna makin lama kian menjauh dari rumah kami.
Menjauhi papaku.
Karena pasang surutnya orderan jasa papa, pendapatan keluarga jadi tak menentu. Pinjaman, atau katakanlah itu utang, di bank jadi membengkak. Bunga makang bunga. Uang yang diambil papa dan mama dari bank tak sanggup lagi dikembalikan. Terasa hanya mimpi. Semuanya berubah 180 derajat.
Aku sendiri, awalnya tak habis pikir dengan alasan papa dan mama meminjam uang dari bank.
Papa dan mama ternyata, selama ini tidak puas dengan apa yang telah mereka gapai. Ternyata mereka punya rencana yang lebih besar. Rencana yang secepat kilat mau diwujudkan.
Mereka berkeinginan kuat membeli rumah super megah di salah satu kawasan elit di kota Manado. Padahal bank itu adalah laksana orang yang meminjamkan payung saat hari cerah, dan memintanya kembali dikala hari hujan dengan sangat derasnya.
Sikap mama dan papa lambat laun menjadi suram.
Aku tinggal laksana di padang pasir gersang yang membentang luas.
Temperamen mama dan papa kini berubah dari lemah lembut menjadi galak dan kasar. Tak jarang kata-kata tak pantas meluncur begitu saja dari mulut mama.
Dulunya lagu-lagu pembangun rohani yang terlantun dari CD player kami. Sekarang mama dan papa telah berganti aliran.
Kehidupan surga yang selama ini begitu meninabobokan kini berganti kehidupan seperti di neraka.
Sungguh sangat kontras yang terlampau kentara!
Keseharian ceritanya adalah kurang lebih seperti ini.
Pagi-pagi sudah dimulai dengan lagu berjudul; “Jangan Kau Tuduh Aku”, “mengapa kau selingkuh?” Siangnya “burung bajingan”. Malamnya “lebe bae bacere.”
Kondisi ini sangat mempengaruhi jiwa dan perilakuku. Maklumlah aku masih anak-anak yang polos dan lugu. Bak kertas putih. Kosong.
Lagu-lagu orang dewasa menjadi begitu akrab ditelingaku sekarang.
Sebaliknya, lagu sekolah minggu semakin menghilang dari ingatanku. Aku tak pernah lagi diantar ke gereja. Mereka sibuk dengan perasaan mereka masing-masing. Kadang aku merasa mama dan papa tak lagi sayang dan peduli padaku.
Aku jadi malas makan, malas bagun pagi dan malas ke sekolah. Soal makan, mereka masih sangat peduli. Mereka selalu mempersoalkan apakah tubuhku telah diisi atau belum. Tapi mereka tidak tahu bahwa jiwaku juga butuh makanan. Bukan hanya tubuh.
“Ratu, so makang ngana?!”1 tanya Mama.
“Masih kenyang e mama,” jawabku sambil sedikit merengek.
Aku dulu yang tak berani berdusta kini terbiasa karena menghindari apa yang namanya makan.
Aku lebih suka makan snack. Junk food2.
Tak heran badanku semakin ceking bak seorang anak yang menderita busung lapar.
Mama marah-marah karena aku kedapatan membuang makanan dengan sengaja.
 “Ratu! Kyapa ngana buang tu nasi?”3 bentak mama. Matanya serasa mau keluar. Tapi aku tahu itu hanya gertakan saja. Tidak mungkin dia tega memukulku hanya karena membuang makan. Aku adalah anak satu-satunya. Aku adalah kebanggaan mereka. Tak mungkin sesuatu yang buruk akan mama lakukan.
Besoknya aku ketahuan lagi karena membuang makanan. “Ratu! Ontak apa ngana? Buang-buang makanan….ngana kira tu nasi cuma ja punggu di got?!4
1   “Ratu, sudah makan kamu?!”  (Bahasa Melayu Manado)
2   Makan sampah (Bahasa Inggris)
3   “Ratu! kenapa kamu buang nasinya?!” (Bahasa Melayu Manado)
4   “Ratu! Otak apa kamu? Seenaknya buang makanan…kamu kira nasi itu cuma dipungut dari got?!” (Bahasa Melayu Manado)
“Ratu nda buang e mama. Anjing kwa ini da nae di meja kong loku ta pe piring.”5
Kini aku semakin lihai mengarang-ngarang alasan. Kali ini mama percaya saja. Mama berpikir bahwa bisa saja aku memang khilaf. Mungkin hanya pikirannya saja yang menyangka anaknya melakukan yang tidak-tidak. Mamanya mengakui, dalam diam, bahwa pikiranya memang ngelantur karena sedang kacau.
Hari berikutnya aku melakukan lagi kesalahan yang sama.
Tanpa disengaja mama melihat aku sedang memberikan makanan kepada 2 anjing peliharaan mereka di belakang rumah.
Ayam-ayampun ikut berebut mendengar bunyi piring walaupun sudah diusahakan pelan. Padahal belum sesendokpun masuk dalam mulutku.
“Setang ngana. Skarang apa ngana mo bilang?”6 teriak mama dari jarak yang tak berapa langkah jauhnya. Sambil memegang batang sapu dia mulai memukulku. Disertai tendangan. Dia menyeretku saat aku menjauh karena menghindari dari setiap pukulannya. Itu membuatnya sumringah. Aku dipandanginya sebagai anjing penuh borok yang harus dipukul sehingga menjauhi rumah.
5   “Ratu tidak membuangnya mama. Anjing ini yang naik ke atas meja lalu merampas piringnya.” (Bahasa Melayu Manado)
6   “Setan kamu. Sekarang, mau bilang apa kamu?” (Bahasa Melayu Manado)
“Cuki ngana. So siksa orang tua ja mancari ngana seenaknya kase pa binatang tu makanan. Ontak binatang ngana! So jago ngana badusta pa orang tua e!!”7
“Paf!!!!!!!! Buk!! Pakkk!!”
Aku sangat kaget dan berteriak-teriak histeris memohon ampun. Mama terus mengayunkan batang bambu taki yang keras ke badanku.
“Ampung..…mama.…ampung…mama…..ampuuuuuuung. Mama…mama…ampung kita….”8
Berkali-kali dagingku berbenturan dengan daging dan tulang yang menonjol keluar.
Mama terus memukul. Dia lupa bahwa aku hanya seorang balita.
Batang sapu patah menjadi 3 bagian. Aku terhempas ke sudut kamar dan terisak sesendu’ang9.
Aku belum percaya sepenuhnya dengan apa yang baru saja dia alami. Aku begitu terhenyak dengan apa yang baru saja aku saksikan.
Dulu mama adalah induk domba yang selalu memberi kehangatan.
7   “Bangsat kamu. Sudah siksa orang tua mencari uang, kamu seenaknya memberikannya kepada binatang? Otak binatang kamu! Sudah pandai ya kamu berduta pada orang tua!!” (Bahasa Melayu Manado)
8    “Ampun mama….ampuni saya...!” (Bahasa Melayu Manado)
9   Menangis sesenggukan (Bahasa Tontemboan)
Sekarang aku bagai anak domba dalam liang induk serigala yang mulai mencabik-cabik. Tak tahu kapan aku nantinya akan habis jadi santapan.
Mama berhenti saat basah karena berpeluh hebat. Dia juga tampak kelelahan telah melampiaskan rasa stresnya karena dikejar-kejar  pegawai bank yang setiap hari datang menagih.
Sisa tangisan masih ada ketika papaku tiba.
“Kyapa e?”10 tanya papa penasaran dengan apa yang baru terjadi.
Belas kasih menyelimuti papa ketika melihatku tak berdaya meringkuk di pojok. Di dekatinya aku untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Aku tak berani mengeluh. Takut situasi tambah buruk. Sambil menoleh ke mama diapun bertanya lagi.
 “Yunita, kyapa karu tu anak ngana so se biru-biru bagini e? Masih kecil ngana so ja labrak sama deng orang besar.”11
Perkataan papa cukup memberikanku gambaran seperti apa ku sekarang. Namun pernyataan papa pasti akan berdampang buruk. Tak berani aku melihat pertengkaran yang sebentar lagi akan membara. Siapa yang sanggup menyaksikan perang dunia III.
10         “Kenapa?” (Bahasa Manado Melayu)
11         “Yunita, kenapa anak ini kamu telah buat lebam kebiruan seperti ini? Masih kecil, tapi kamu sudah memukul dia seperti orang dewasa”. (Bahasa Manado Melayu)
“Badiam di situ ngana, John! Kalu perlu deng ngana kita mo se ancor.”12 Jawaban mama terdengar begitu kasar.
Sungguh membuat papa merasa pedih. Papa berusaha menguasai diri. Keadaan lelah usai kerja seharusnya membuat dia layak memperoleh sambutan yang menyejukkan hati dari sang istri.
Ayah berusaha bersabar. “Mungkin dia hilaf lantaran lala kerja di rumah,”13 kata papa pada dirinya sendiri meyakinkan bahwa setiap orang dalam keadaan lelah atau stres kadang-kadang memunculkan tanggapan yang tak terkendali. “Wajarlah”.
Aku berharap malamnya semua akan kembali seperti semula. Tentram dan damai. Papapun berharap begitu.
Papa kini mulai masuk kamar dan mulai merayu mama seperti biasa dilakukannya untuk memecah kebekuan. Tapi, mama hanya memberikan tanggapan dingin. Kulihat papa mencoba lagi. Aku tahu, ini demi keutuhan rumah tangga dan demi mengembalikan keselarasan yang sedikit memudar di sore tadi.
“Jang baba dekat pa kita ngana!”14 teriak mama sambil menghempaskan tangan papa.
12         “Diam di situ kamu, John! Bila perlu, dengan kamupun saya pukul hingga hancur” (Bahasa Manado Melayu)
13         “Mungkin dia khilaf karena lelah kerja di rumah”. (Bahasa Manado Melayu)
14          “Jangan kamu berani dekati aku!”. (Bahasa Manado Melayu)
Sungguh…reaksi ini tak pernah diharapkan baik oleh papa maupun aku.
“Kita nda suka ngana pe cara tadi. Kita nda suka ngana kendo’o cari muka di muka pa anak.”15
 “Sapa yang cari muka?” kini papa angkat bicara. “ kita cuma kase inga pa ngana tu nda bagus yang da beking pa anak. Ini demi torang pe kebaikan.”16
“Luji deng ngana. Setang. Tidor di luar ngana! Jang badekat.”17
Mendengar papa dan ibu mulai perang mulut lagi aku menutup telinga.
Namun suara makin keras menjangkau sampai rumah-rumah tetangga. Teriakan mereka bertubi-tubi menghujam dan merobek telinga.
Pelan-pelan aku keluar dari rumah kami dan satu langkah demi satu langkah mengarah ke rumah kakek dan nenek yang hanya berjarak kurang lebih 20 meter.
Kakek nenek ternyata juga sedang mendengar apa yang sedang berlaku di rumah kami.
15         “Saya tidak suka cara kamu tadi. Saya tidak suka cara kamu mencari muka di muka anak kita”. (Bahasa Manado Melayu)
16          “Siapa yang cari muka? Saya hanya mengingatkanmu yang tidak bagus yang kamu lakukan kepada anak kita. Ini demi kebaikan kita.” (Bahasa Manado Melayu)
17         “Sialan kamu. Setan. Tidur di luar kamu! Jangan mendekat.” (Bahasa Manado Melayu)
Tadi hanya suara. Kini terdengar benturan perkakas rumah menyentuh lantai dan dinding.  
“Kyapa re’e tu di rumah pa ngoni, Ratu?”18 tanya nenek.
“Tau kasana,”19 jawabku kesal bercampur malu. Mencoba menyembunyikan aib keluarga namun aku tak pandai memberi jawab pada pertanyaan semacam itu.
Nenek dan kakek tahu perasaanku. Merasa aku tak nyaman dengan pertanyaan merekapun mengalihkan pokok pembicaraan pada hal-hal lain. Kakek yang humoris mulai bicara. Dia senang bertutur mengenai cerita rakyat di kampung kami. Ada cerita tentang si Hero yang Mati Sembilan Hari, ada juga Legenda Asal Muasal Tetewatu, cerita epos tentang Mawale dan kaitanya dengan tugu Lutau dan lain sebagainya.
Dalam keadaan gundah sekalipun aku dapat dibuat kakek tertawa.
Dia memang tipe manusia dengan kecerdasan linguistik yang hebat.
Dia mampu berbicara berjam-jam disertai gerak-gerak teatrikal yang membuat orang-orang benar-benar tegang dan terkekeh-kekeh karena kejenakaan ceritanya.
Banyak orang, walaupun sebenarnya jenuh dengan cerita-cerita
yang sudah diulang-ulang itu, masih terkagum-kagum dengan
18         “Ada apa di rumah kalian? Kenapa, Ratu.” (Bahasa Manado Melayu)
19         “Tahulah!” (Bahasa Manado Melayu)
bertutur kakek saya. Gara-gara itu, kakek dijuluki sebagai si Hans Flasgordon.
Tak terasa, malam semakin larut.
Pertunjukkan teatrikal kakek telah usai.
Aku yang sudah sedikit merasakan kantuk mohon diri pulang ke rumah.
Kakek dan nenekpun tak berusaha menahan.
Karena takut kegelapan aku berlari menuju rumah.
Papa telah berbaring di sofa. Di kamar ibu telah tertidur sendirian.
Aku tak tahu bagaimana akhir cerita dari pepeperangan mereka. Tapi mendingan. Setidaknya telah terjadi genjatan senjata.
Aku keluar kamar lagi sambil membawa selembar kain untuk papa sebagai selimut.
Kasihan papa.
Aku tak mau dia nanti kedinginan.
TV masih saja bicara-bicara sendiri. Ku tekan tombol on/offnya. Karena tinggi tempat colokannya ku naiki meja kecil dan menarik kabel colokan.
Malam ini hujan turun. Guntur mulai menggemuruh. Kilat-kilat kecil mulai berdatangan.
Mama selalu berpesan untuk mematikan semua peralatan elektronik saat dalam keadaan seperti sekarang ini.
Setelah semua tampak beres, aku menuju kamar dan merebahkan diri di samping mama.
Aku tak berani tidur sendirian dalam kamarku dalam cuaca begini.
Lama, baru aku terlelap.

***








Besoknya aku terbangun saat jam wekerku menunjukkan pukul 06.30. Waktu itu tape deck sudah mengeluarkan lantunan-lantunan putus asah dan pengeluhan.
Sungguh tak sesuai dengan harapanku semalam. Sungguh tak baik memulai hari dengan aura pesimis.
Lagu-lagu yang terdengar sama dengan beberapa hari terakhir: ”Jangan Kau Tuduh Aku”. Seingatku itu adalah lagu grup band bernama Wali. Kemudian ada lagu yang berjudul “ mengapa kau selingkuh”, “Pulangkan Saja Aku Pada Orang Tuaku”, “Burung Bajingan”, “Lebe Bae Bacere” 20.
Daftar lagu itu sepertinya sengaja menjadi pilihan dan kesayangan orang tuaku sekarang ini.
Padahal, seharusnya lagu-lagu memotivasi yang layak didengar dalam situasi seperti ini.
Sadar atau sadar, lagu-lagu itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kami.
Tak tahu pasti kenapa mama papa lebih memilih lagu-lagu seperti itu. Padahal, dulu, setiap pagi aku selalu mendengar lagi religius atau lagu-lagu optimis dari Ebiet.
20         “Lebih Baik Bercerai” (Bahasa Manado Melayu)

Aku paling suka kalau yang diputar adalah lagu koleksi untuk anak sekolah minggu. Cocok untuk usiaku. Lagu-lagu yang penuh dengan suasana bermain. Dan keriangan.

***













Hari-hari berikutnya sama saja. Malahan semakin parah.
Papa kini sering pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Berkali-kali papa ingin berdamai tapi selalu ditolak. Sekarang mereka, telah berlangsung lama, tak lagi tidur seranjang. Seperti biasa, papa di sofa. Mama di kamar.
Satu malam karena tak tahan dengan situasi yang makin besae21, papa memaksakan diri untuk tidur sekamar dengan mama. Dia berusaha mengeluarkan jurus-jurus pamungkas untuk meluluhkan hati mama. Tapi mama berang karena papa sudah dalam keadaan setengah sadar setengah teler.
Karena hal itu, perang mulutpun pecah di tengah malam.
Mereka tak peduli lagi dengan keadaan sekitar.
“Yunita, kyapa ngana so ta roba skali bagitu e? Apa kita pe salah? Kalaupun kita salah so nda re’e mo dapa maaf so?”22
“Jang tanya! Kyapa le ngana tiap malam kaluar deng pulang-pulang amper siang?”23 mama balas bertanya tak ingin kalah.
“Mo bagimana kita? Di rumah nda ada kesenangan.
21         Jelek (Bahasa Manado Melayu)
22         “Yunita, kenapa sudah berubah sekali? Apa salah saya? Kalaupun aku punya kesalahan, apa sudah tak ada maaf?” (Bahasa Manado Melayu)
23         “Jangan tanya! Kenapa juga kamu setiap malam keluar dan pulang-pulang subuh? (Bahasa Manado Melayu)
Tiap pulang kerja bukang ngana sambut bae-bae: sirang akang kopi, malah ngana bajalang baron-ron kampung. Kita nda snang ngana korang bergaul-gaul deng ABG! Ngana musti sadar Yunita; ngana itu so tanta bukang lagi cewek. Kalu so ba stel, artis kala.”24
 “Apa ngana bilang?! Ngana bilang kita baron-ron? Ngana anggap kita perempuan lonte! Asal jo ngana. Kong ngana apa? Laki apa tu pulang so pagi? Bukang lonte tu bagitu? So sama kwa. Udang deng ketang kalu bakar sama. Ne, jang bicara kalu ngana lebe soe.”25 semprot mama.
“Beda. Kita laki-laki. Ngana perempuan.”26 papa tidak mau kalah.
“Cuki deng ngana. Karena ngoni laki-laki kong sambarang beking ngoni pe mau. Pemai deng ngana! Ngana bilang kita le nda ja layani pa ngana? Oh io, nanti ngana lia kalu kita mo se momasa lagi for ngana.”27 balas mama dengan pukulan yang membuat papa teroleng-oleng.
24          “Mau bagaimana? Di rumah tidak ada lagi kesenangan. Tiap pulang kerja, bukannya kamu menyambutku dengan baik-baik: bikin kopi, malah kamu keluyuran. Saya tidak senang kamu bergaul terus-terusan dengan ABG. Kamu mustinya sadar Yunita. Kamu sudah tante bukan lagi gadis. Kalau sudah berdandan, selebriti kalah!” (Bahasa Manado Melayu)
25  “Apa kamu bilang?! Kamu bilang aku keluyuran? Kamu anggap aku lonte! Asal kamu. Kamu apa? Suami macam apa yang pulang pagi? Bukankah itu yang namanya lonte. Kita sama saja. Udang dan kepiting kalau dibakar warnanya sama: merah. Jadi, jangan bicara kalau kamu justru yang lebih parah.”
26 “Beda. Saya lelaki. Kamu perempuan.” (Bahasa Manado Melayu)
27 “Kontol kamu! Jadi, karna kalian lelaki, lalu sembarang buat apa yang kalian mau? Bangsat kamu. Kamu bilang saya tidak melayani kamu? Oh, jika begitu lihat saja kalau saya akan memasak lagi untuk kamu.” (Bahasa Manado Melayu)
 “Yunita, coba kwa bicara bae-bae.”28
“Bicara bae-bae, lawut deng ngana. Ngana kira kita ngana pe pembantu. Kita mo tanya pa ngana: kyapa kendo’o ngana so nda pernah kase doi pa kita na.”29
Perdebatan terus berlanjut. Rasa banggaku pada kedua orangtua lululantah sudah. Wibawa mereka tak ada lagi.
Tanpa sadar mereka sedang mengajariku bagaimana bertengkar dengan berbagai macam sumpah serapah.
Aku sebenarnya hanyalah anak yang belum cukup umur untuk memahami persoalan rumit dan pelik yang menimpa keluargaku.
Usiaku belumlah cocok dan siap menghadapi terpaan ini. Seharusnya, masa kecilku dilalui dengan riang gembira dan sarat dengan curahan kasih sayang.
Terlalu berat buatku memikirkan dan menghadapi konflik antara mama dan papa yang kian kronis. Bagaikan konflik Israel dan Palestina yang telah berlarut-larut tanpa ada jalan keluar yang menguntungkan kedua belah pihak. Hari demi hari korban berjatuhan. Nyawa melayang setiap saat. Nyawa manusia tak ubahnya nyawa binatang yang dijagal tanpa ampun.
28.       “Yunita, coba bicara baik-baik. (Bahasa Manado Melayu)
29.        “Bicara baik-baik sialan kamu. Kamu pikir aku pembantu. Saya tanya sama kamu: kenapa kamu sudah tak memberikan uang pada saya, ha?” (Bahasa Manado Melayu)
Sungguh memilukan!
Lama kelamaan kelakuan mama dan papa mulai berubah.
Sifat-sifat baik telah lari dari mereka. Yesus tak lagi terlihat dari laku mereka.
Papa kini juga sering memukulku dengan ikat pinggangnya.
Setiap kali kedapatan bermain dengan anak-anak tetangga aku selalu dicerca dengan makian diikuti dengan sabet-sabetan yang terasa perih dalam daging.
Papa selalu melarangku bermain dengan anak-anak lelaki. Apalagi, gara-gara bermain dengannya aku sampai lupa makan.
Memang, selera makanku tak lagi ada. Apalagi makanan seperti nasi. Aku lebih suka snack. Cepat masuk mulut dan terasa lebih enak. Makanan sampah itu yang menyebabkan badanku semakin kerempeng. Namun, tentu saja, ancaman mama dan papa sulit merubah ketergantunganku pada jenis makanan itu.
Kebiasaanku bermain dengan Gerald sulit untuk dilarang. Si Gerald memang nakal, tapi hanya dialah satu-satunya temanku.
Beberapa anak lainpun telah dilarang orang tua mereka bergaul denganku. Mereka takut anak mereka terjangkiti oleh kebiasaan kasar dari rumahku.
Gerald, walaupun nakal, dia lucu dan menggemeskan. Aku selalu dibuatnya tertawa. Aku lebih bisa berekspresi dengan dia karena kami mungkin sebaya. Dia juga teman berlatihku mengucapkan makian-makian yang aku dengar dari dua orang tuaku yang juaranya memaki.
Aku, sebenarnya juga, mendapat kenyamanan ketika dekat dengan nenek dan kakek serta kedua pamanku yang bernama Wani dan Wady.
Kehadiran kedua pamanku mampu membuat wajahku berseri-seri. Mereka bagaikan oase di tengah padang pasir.
Mereka suka membacakan dongeng untukku. Sayangnya, waktu mereka denganku sangat terbatas. Paman Wani adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di kota Manado. Dia hanya pulang sekali dalam dua minggu.
Paman Wady juga sibuk. Dia apalagi. Dia hanya pulang sekali dalam sebulan.

***



Hari-hari berikutnya, mama dan papa terlihat kadang-kadang insaf kalau aku kekurangan perhatian.
Mereka sudah sering memberiku uang.
Dulu tidak begitu. Tak pernah mereka memberiku uang.
Mereka biasa menghadiahiku buku-buku cerita. Juga membacakannya.
Aku tak butuh uang.
Alat tukar itu tak akan menggantikan kasih sayang dan perhatian mereka.
Aku heran. Mereka memberiku uang di saat kami sedang mengalami krisis keuangan yang berat.



***







3
MAKIN TERPEROSOK





T
ak ada perubahan ke arah baik. Malah makin terperosok.
Satu tahun terakhir, hubungan papa dan mama tak pernah membaik.
Malahan semakin jelek.
Kalau pagi hingga siang mama dan teman-temannya kumpul-kumpul, bergosip dan sesekali, dalam kehebohan dalam rumah, meneriakkan kata-kata kotor karena bereaksi terhadap adegan dalam koleksi video porno yang mereka tonton dari ponsel mereka.
Sore hingga malam, giliran papa dan teman-temannya yang pesta miras dengan musik-musik super keras.
Tak tahan dengan itu aku selalu menjadikan rumah kakek dan nenek sebagai tempat mencari suaka. Aku dijadikan tumbal demi kebahagiaan semu mereka.
Mama sangat marah dengan kelakuan ayah dan teman-temannya yang setiap malam mengotori rumah dengan muntah-muntah mereka saat tengah mabuk.
Papapun balas mengeluhkan sikap mama yang telah berubah drastik. Tak lagi menunaikan tugas kesehariannya sebagai seorang ibu dan seorang istri.
Pemenuhan kebutuhan biologis ayah diabaikan. Mama sering dilabeli papa sebagai seorang istri yang telah ingkar dengan janji pernikahan. Padahal dengan lantang mengucapkannya di gereja beberapa tahun yang lalu. Sesuatu yang sakral kini tidak berarti.
“Brenti ngana bawa-bawa ngana pe tamang-tamang setang di sini e. Kita so pastiu.”30 Serangan dilancarkan lagi. Sudah bisa diramalkan apa yang bakal jadi berikutnya.
Tak tahan dengan itu papapun tak mau kalah.
“Kyapa ngana e? Pemai deng ngana.” Kali ini serangan balik ayah lebih keras.  “Tegor-tegor pakita! Kong ngana?! Bini apa le tu babajalang deng ABG sampe malam. Laki stenga mati kerja. Ngana asik gaul. So nda butul ngana no. Ngana pe kira kita nda baca tu sms-sms setang dari laki-laki dari mana sto ja kirim pa ngana?!”31, mama sedikit terhenyak dengan reaksi papa.
“Iyo…deri ngana so ja sangka-sangka nda-nda pa kita, nanti ngana lia. Nanti kita se butul.”32 balas mama dengan ancaman.
Mama tidak sadar dengan ucapan itu. Ucapan itu adalah doa yang kalau terkabul akan menjadi sumber malapetaka. Dia seharusnya sadar bahwa melayani suami adalah tugasnya. Itulah yang disebut sebagai ibadah.
30.        “Berhenti kamu bawa teman-teman setanmu kesini. Saya sudah jengkel.” (Bahasa Melayu Manado)
31.        “Kenapa kamu? Bangsat kamu. Tegur-tegur saya. Trus kamu?! Istri macam apa kamu, keluyuran dengan ABG hingga larut malam. Suami stengah mati kerja. Kamu asik gaul. Sudah tidak benar kamu ini. Kamu kira saya tidak baca sms-sms dari pria setan dikirim sama kamu?” (Bahasa Melayu Manado)
32.       “Oh…karna kamu sudah menuduh aku yang bukan-bukan. Lihat saja nanti. Nanti aku buat itu menjadi kenyataan.” (Bahasa Melayu Manado)

Kata-kata tak senonoh sudah membiasa di telingaku. Sungguh tak tahu lagi bagaimana aku menggambarkan kehancuran keluarga kami.
Serasa sungguh-sungguh sudah di neraka. Sungguh! Keadaan ini makin menyiksaku. Mereka sungguh keterlaluan.
Aku tak lagi dipandang. Aku kini tak ada lagi di mata mereka.
Kenapa aku harus ada di dunia untuk menyaksikan keruntuhan demi keruntuhan ini?
Mereka sibuk dengan ego mereka dan mengabaikan aku yang rapuh ini.
Betul-betul tak berperasaan!
Tak ada tempat lagi aku mencari pelipur lara bagiku. Kakek nenek sibuk dengan bisnis mereka. Mereka sedang merencanakan proyek besar. Mereka sedang mempersiapkan bagaimana menghabiskan masa tua mereka sebelum ke liang kubur.
Terpaksa aku harus mencari sendiri sumber kenyamanan. Aku harus mandiri.
Aku harus mencari pelipur lara sendiri. Kalau tidak, lama-lama aku bisa gila dengan semua kesintingan ini.
Gerald, ya Gerald. Dialah teman baikku. Bukan hanya teman. Tapi sahabat.
Aku secara sembunyi-sembunyi bermain dengan Gerald sebelum pulang rumah.
Ini membuatku sering pulang kesiangan dari sekolah. Bahkan kadang-kadang sore.
Mama papa tak juga memperdulikannya. Hari demi hari itu aku perbuat. Aku dan Gerald bermain papa-papaan dan mama-mamaan.
Kami mendramakan secara impromptu beberapa adegan yang mama dan papa lakoni saban hari.
Namun, akhirnya kebiasan pulang sore ketahuan juga oleh papa apa penyebabnya.
Begitu papa melihatku masih bermain dengan Gerald, papa langsung menyeretku seperti binatang. Aku dipukulinya terus-menerus sepanjang jalan hingga di rumah. Aku berteriak minta ampun.
Dia terus saja menghantamku dengan pukulan-pukulan terbaiknya. Dihempaskannya aku ke lantai begitu saja kemudian menyuruhku supaya makan. Tak berapa lama dia sudah pergi keluar rumah dengan sepeda motor. Mama datang saat aku sudah pulih dari penganiayaan. Saat itu aku tengah bermain sendiri dengan boneka-bonekaku untuk menghibur diri. Ya…untuk menghibur diriku sendiri.
“So makang ngana?”33
33.        “Kamu sudah makan?”
Belum sempat ku jawab dia nampaknya cepat tahu karena melihat tingkahku yang berusaha berkelit.
Tak bisa lagi aku berbohong.
Ku lihat mama berjalan mondar-mandir seperti kerasukan. Diambilnya sapu lantai dan memukuli aku dengan batang kerasnya. Tubuhku yang terkena terasa sangat sakit. Bukan hanya dagingnya. Rasa sakit menembus tulang. Kemudian jantung. Aku berteriak-teriak seperti kesetanan. Mama malah semakin beringas. Punggungku terasa sangat perih karena lecet-lecet dan penuh dengan lebam.
“Kyapa ngoni?” terdengar suara. Suara itu suara kakek. “Oh kasiang. Ngoni jo re’e tu mo bunung tu ngoni pe anak sandiri.”34 Kata kakek marah.
Kini dia berdiri di depan pintu. Kakek mengangkatku perlahan. Aku telah terbujur lemah. Kehabisan kuat menahan deraan sakit.
Aku tak berdaya. Tak sanggup mengangkat tangan sebagai tanda menyerah. Tak sedikitpun terlihat bahwa mama menyesal. Dia kelihatan masih geram. Belum semua rasa kesalnya dilampiaskan.
Tiga hari aku tak keluar dari rumah kakek dan nenek. Aku teramat takut melihat kedua monster yang secara bergantian hampir membunuhku di hari yang sama.
34.        “Kenapa kalian? Oh kasihan. Kalian, ternyata yang akan membunuh anak kalian sendiri.”
Tubuhku masih menggigil mengingat keberingasan mereka.
Aku akui bahwa aku kadang nakal. Namun aku tak pantas dididik dengan cara penuh kekerasan seperti itu.
Secara bergantian, suara kedua monster terdengar di luar kamar. Mereka meminta ijin untuk menengok aku yang hampir saja dimangsa mereka. Berkali-kali aku memang bilang pada kakek dan nenek bahwa aku takut bila mereka mendekatiku. Apalagi menyentuhku.


***








Seminggupun telah berlalu.
Trauma telah hilang. Kepercayaan kepada orang tua kembali muncul. Aku berpikir pasti mereka sudah merasa sadar dengan ketelodoran yang telah mereka perbuat padaku.
Kuputuskan untuk kembali tinggal bersama mama dan papa dan mulai bersekolah lagi.
Aku telah ketinggalan jauh pelajaran-pelajaran sekolah.
Mama berusaha membantuku mengatasinya. Disusunlah jadwal belajar tambahan buatku. Aku memang ingin diajar lagi oleh mama setelah sekian lama belajar sendiri.
Namun, betapa kecewanya aku karena metode ajar sekarang sudah berubah.
Tak lagi seperti dulu yang mengerti kelebihan dan kekuranganku, penuh dengan dukungan juga kemakluman. Itu membuatku sedikit susah untuk belajar.
“Ratu, ngana ja taru dimana ngana pe ontak? So se ajar, kyapa ngana cuma beking bagini?”35 kata mama dengan marah.
Tak sempat kulihat dia masuk kamar, kini dia kembali dengan seikat lidi yang keras. Pukulan bertubi-tubi mendarat di punggungku.
35.       “Ratu, dimana otak kamu? Sudah diajar, kenapa kamu malah cuma membuat  yang beginian?.”
Aku histeris. Pukulan demi pukulan melesat tanpa meleset.
Tubuhku terhempas ke kiri dan ke kanan. Tak ada pengampunan.
 Ini adalah lanjutan pelampiasan yang tak sempat diselesaikannya tempo hari. Aku memekik penuh derita. Kakek tak kunjung datang membawa keselamatan. Nenekpun tak datang menyerukan kata ‘berhenti!’ Aku terisak-isak sampai kehabisan suara. Mama kini kehabisan tenaga. Peluhnya yang besar-besar jatuh ke lantai. Dendamnya tersampaikan. Selanjutnya….
Kami berdua terdiam. Keheningan. Yang ada hanya keheningan. Aku tertidur. Sore berlalu. Ganti gelap datang. Udara mendingin. Tiba-tiba terdengar teriakan.
“Yunita, mana tu John?!! Kuda cuki deng dia. Se kaluar kamari dia. Babi, kaluar ngana laki-laki. Yunita…mana ngana pe laki? Ta mo teto pa dia!!!”36
Aku terbangun. Samar-samar terdengar kehebohan. Lama-lama situasi makin mencekam. Walau tubuh terasa sakit di sekujur tubuh aku tetap nekad mencoba bangkit dan mengintip dari celah-celah dinding rumah. Di depan telah berkerumunan sejumlah besar orang. Seorang pria dewasa dengan sebilah pedang terus mengeluarkan sumpah serapah dan ancaman-ancaman.
36.       “Yunita, dimana John? Kuda kontol! Keluarkan dari situ. Babi! Keluar kamu laki-laki. Yunita, mana suami kamu? Saya akan cincang dia.”
 “Yunita…bilang pa ngana pe laki. Jang berani kaluar. Brani dia babayang dimuka pakita, ta potong. Sembot!!!!!! Ta bunung. Brani ngana kaluar, mati ngana!”37
Mama masih kebingungan. Tak mengerti dengan apa yang sebetulnya terjadi. Dia penasaran mendengar seorang pria terus mengutuk papa, bahkan mengancam hendak membunuhnya. Mama beranikan diri keluar dan berdiri di beranda sambil mengawasi.
“Kyapa ngana bataria-bataria di muka kita pe rumah, Stevi? Cuki! Kyapa kendo’o yang mo potong kita pe laki? Lawut deng ngana!”38 mama balik menghamburkan sumpah serapah ke lelaki yang tengah dirasuki setan di depan rumah kami.
“Pemai…! Lawut! Ngana pe laki kita dapat riki baku cuki dengan kita pe bini di kamar mandi. Ta mo teto pa dia!”39 balas lelaki yang telah kerasukan itu.
Beberapa orang dewasa mencoba menjinakannya namun segala upaya sia-sia.
37.       “Yunita, bilang sama suami kamu. Jangan berani keluar. Berani dia menunjukkan bayangnya saja, saya tebas.  Sembot!!! (Vagina) saya bunuh. Brani kamu keluar, mati kamu..” (Bahasa Melayu Manado)
38.       “Kenapa kamu berteriak-teriak di depan rumah saya? Cuki (senggama). Kenapa kamu mau menebas suami saya? Lawut (vagina) kamu!” (Bahasa Melayu Manado)
39.       Pemai. Lawut. Suami kamu saya pergoki sedang bersenggama dengan istri saya di kamar mandi. Saya akan cincang dia!” (Bahasa Melayu Manado)
Dialog demi dialog yang kudengar membuatku paham apa masalahnya.
Aku terpukul.
Mama beranikan diri keluar dan berdiri di beranda sambil mengawasi. Tak tahan mengetahui papa ternyata seorang ayah amoral. Pukulan batang sapu masih bisa ku tahan. Tubuhku telah cukup kuat untuk itu.
Tapi tidak dengan pukulan memalukan ini. Aku tak tahu harus ditaruh dimana mukaku. Aku takkan mampu menghadapi hari esok dengan cemooh dari teman-teman sekolah.
Apalah arti mengada di dunia tanpa harga diri dan kosong kasih sayang. Sungguh berat beban yang harus ku pikul. Keluargaku sangat memalukan…hiks…hiks...hick…
Air mataku terus mengalir. Perasaan dan pikiran terus berkecamuk.
“Apalah artinya mengada di dunia, jika harus penuh derita seperti ini. Apalah artinya orang tua bilang menyiksaku terus-terusan seperti ini. Beban ini terlampau berat untuk ku tanggung. Terlampau berat untuk ku pikul”.

***























4
TAK TAHAN LAGI





B
esoknya, semua penuh keheningan. Mama tak tidur sepanjang malam. Dia menangisi nasibnya yang malang dihianati suami. Dia terus-terusan menyumpahi papa.
Dari tadi malam tak sedikitpun dia bergeser dari sofa.
Papa kini tak lagi di kampung. Semalam dia telah dilarikan ke Motoling. Om Obrin, dengan sepeda motor, meloloskannya dari sabetan parang. Syukur dia lolos dari maut. Kalau dia masih tinggal mungkin sekarang dia sudah merenggang nyawa.
Hari semakin terang. Aku tak kunjung keluar dari kamar. Mama tak begitu peduli. Sibuk menangisi diri sendiri. Dia menyesali semua perbuatannya selama ini. Dia sadar dia turut memberi sumbangan atas perbuatan suaminya. Dia ingat akan ancamannya untuk berselingkuh. Sekarang, justru suaminyalah yang terlebih dulu membuatnya jadi nyata.
Mama terus sesenggukkan. Kalau saja….
Ah percuma! Nasi telah membubur.


***





Waktu terus berjalan. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.07. Ratu belum keluar kamar.
Yunita terakhir kali mendengar suara anaknya kemarin sore, saat meraung-raung karena kesakitan. Saat berteriak-teriak memohon pengampunan. Tapi tak diberi sedikitpun.
Yunita ingin berteriak memanggil Ratu. Dia mau marah karena pasti anak itu tak ke sekolah. Geram mulai diundangnya. Tapi suaranya telah hilang. Dia mengumpulkan semua tenaga yang tersisa.
Dia memutuskan untuk masuk dan hendak menyeret Ratu keluar. Dia bahkan telah meraih batang sapu taki. Dia ingin melampiaskan semua dosa suaminya pada si kecil. Anak mereka semata wayang. Anak satu-satunya.
Kini dia telah dekat dengan daun pintu. Begitu pintu dibuka tak ada sosok yang berbaring di atas tempat tidur…..matanya yang lelah mencoba memindai seluruh sudut kamar.
Dengan samar-samar sepasang matanya menangkap sesuatu di atas kepala. Wujud yang tak pernah dia bayangkan.
Seperti ada yang melayang. Namun tak bergerak. Perlahan-lahan dia mendongakkan kepala……….
Tak pernah terbayang. Tak pernah terpikir apa yang sekarang dilihatnya. Mata Yunita terbelalak tak percaya dengan apa yang kini dia saksikan. Tak pernah dia menginginkan ini. Tak pernah sedikitpun.
Puterinya yang cantik jelita tergantung kaku. Lidah menjulur keluar…… memandang kosong. Sungguh kasihan!
Tubuh Yunita berguncang hebat. Dia meronta-ronta dalam diam. Berusaha berteriak sekuat tenaga. Namun tak keluar suara.
Air mata-mata bercucuran. Mengalir deras. Sedikit berubah warna.
Kini semua sudah terlambat… Upaya apapun tak akan berfaedah. Sang semata wayang kini tinggal nama.
Didekapnya kaki anaknya yang dingin membeku.
Dia menangis keras dalam kebisuan. Tapi semua itu tak lagi ada maknanya.
Sehelai kertas tergeletak di atas lantai. Dia tahu itu tulisan tangan anaknya. Dialah yang mengajar anaknya sehingga bisa menghasilkan goresan-goresan huruf indah di atas kertas itu. Tulisan yang pernah mengantarkan anaknya menjadi juara menulis indah sekabupaten……. Dia ingat anaknya berlari kencang ke pelukannya saat setelah menerima piala dan piagam penghargaan.

Tondei, 20 Desember 2010

Buat mama dan papa,
(Dua Orang Yang Paling Ku Sayang)

Sungguh indah kenangan yang kita lalui bersama sepanjang separuh dari sepuluh tahun yang telah berlalu.
Aku adalah anak yang paling bahagia di dunia saat itu. Banyak teman-temanku irih karena aku dilimpahi dengan kasih sayang dan kehangatan serta perlakuan-perlakuan kalian yang penuh dengan kelembutan.
Namun, ambisi kalian merenggut semua perhatian yang seharusnya membahagiakan kita. Keegoisan kalian telah merampas kemesraan di antara kita. Apalah artinya hidup jika kehilangan senyuman seorang ibu? Apalah artinya berada di dunia tanpa belaian seorang ayah?
Berbahagialah orang yang tak pernah dilahirkan. Lebih baik tak pernah dilahirkan, daripada berada dalam dunia sambil menyaksikan segala ketidakadilan ini.

Anakmu yang nakal,


 
    Ratu Langkay
Nb: aku janji saat kita bertemu di surga nanti, kelakuanku sudah berubah.
Rasa penasaran kakek dan nenek membawa mereka melihat kebisuan di rumah anak dan cucu mereka.
“Tak biasanya sesunyi itu”.
Rasa rindu kakek dan nenek untuk bersenda gurau dengan cucu mereka mendorong mereka melangkah memasuki rumah itu.
Betapa terkejutnya mereka menyaksikan cucu mereka telah terbaring tanpa nyawa. Tali pencabut nyawa masih menggantung. Tak ada yang perlu dijelaskan lagi.
Semua begitu terang benderang.
Sang nenek berkali-kali jatuh pingsan tak kuasa melihat sang cucu yang tak berkata setitikpun.
Padahal kemarin dia masih dengan lincahnya berlari kian kemari mengejar ayam-ayam kecil untuk menangkapinya. Cucunya berkali-kali didapati mereka berbicara dengan anak-anak ayam itu.
Tahulah sang nenek bahwa anak ayam itu lebih dipercaya sang cucu untuk mencurahkan isi hati, ketimbang kedua orang tuanya.

***

5

AFTERMATH






H
ari itu juga pemerintah memerintahkan supaya segara mempersiapkan penguburan. Wani dan Wady berupaya protes tentang pemakaman yang mau dipercepat itu. Sang hukum tua bersikeras bahwa dia hanya menjalankan peraturan desa.
Telah ditetapkan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan dan adat desa. Jadi, tak ada upacara. Tak ada penghormatan jenasah.
“Bapak Hukum Tua, kami mohon supaya penguburan ditunda hingga besok. Bapak kan tahu ini peristiwa mendadak. Kami masih tunggu keluarga dari jauh. Satu hari saja. Tidak lebih,” Wani meminta dengan sedikit memohon.
“Begini, aturan adalah aturan. Aturan sudah dibuat. Dan itu untuk kebaikan kita bersama. Kita harus menghormatinya. Kalau aturan ini dilonggarkan itu sama saja dengan bersikap permisif terhadap perilaku bunuh diri,” kata hukum tua dengan bahasa Indonesa yang dibuat-buat sehingga terdengar ilmiah.
“Bukankah sangat tidak bijak apabila aturan itu diberlakukan pada anak yang sebetulnya tak mengerti dengan apa itu bunuh diri? Kenapa kalian tak memberi pengampunan. Saya yakin Tuhan adalah pengampun. Dia pasti akan mengampuni anak kami. Lagipula, sebetulnya dia tidak bunuh diri. Dia dibunuh oleh ketertekanan dan ketidakadilan. Dia adalah mangsa iblis. Dia adalah korban. Kenapa dia yang harus dihukum?”
Tampaknya selogis apapun argumen Wani tak akan mengubah pendirian Hukum Tua. Padahal, pada kasus waktu lalu, waktu adik dari sekdes melakukan bunuh diri, peraturan ini didiamkan saja. Begitulah nasib orang kecil. Hukum seharusnya buta. Tak melihat orangnya. Yang bersalah dialah yang dihukum.
Ayah Ratu tak datang saat anaknya dikubur. Rasa bersalah bertubi-tubi menusuk jiwanya. Berkali-kali dia ingin mengakhiri hidupnya agar bisa menyusul anaknya. Tapi dia mengurungnya. Dia sadar bahwa itu tak akan membuat keadaan menjadi lebih baik.
Banyak saudara jauhpun tak sempat datang untuk melayat.


***



























6
BACK TO THE BEGINNING





B
eberapa tahun kemudian, ayah dan ibu Ratu bertemu dan memutuskan untuk memulai kembali dari awal. Pengalaman buruk telah memberikan mereka pelajaran yang sangat bernilai. Meskipun anak satu-satunya telah menjadi tumbal. Benarlah suatu ungkapan lama yang mengatakan “Setiap peristiwa memiliki makna”.
Masalah lalu biarlah berlalu. Mereka telah belajar tentang nilai-nilai kehidupan sejati. Pernikahan ulang dilakukan. Hal ini harus karena kedua orang tua Ratu sempat bercerai beberapa bulan setelah dia meninggal. Pada umur perkawinan kedua tahun mereka dikaruniakan seorang putri yang cantik. Sangat mirip dengan Ratu. Merekapun menamakan anak itu Ratu. Ratu Langkay. Sungguh suatu keajaiban. Seorang insan mengalami dua kali kelahiran. Dan mungkin dua kali kematian.



Selesai